Borong, lenteranews.info – Siang itu, di bawah langit yang terik dan sunyi, rumah sederhana berdinding papan di Tado, RT 001 RW 001, Desa Beawaek, Kecamatan Lamba Leda Selatan, tampak tenang dari luar. Namun di dalamnya, kisah pilu seorang ibu bergulir tanpa henti.
Regina Mur, 53 tahun, duduk lemah di atas tikar lusuh, menahan nyeri yang telah bersarang di tubuhnya selama lebih dari dua puluh tahun.
Benjolan besar tampak jelas di lehernya, membentuk bayangan sakit yang tak hanya menekan fisik, tapi juga batinnya.
Ia menderita gondok sejak tahun 2001, saat mengandung anak ketiganya. Sejak itu, penyakitnya terus berkembang tanpa ampun.
“Awalnya kecil sekali, cuma seperti biji jagung. Saya pikir tidak apa-apa. Tapi makin lama makin besar dan mulai sakit,” tutur Regina dengan suara serak, matanya memandang ke kejauhan seolah mencari harapan yang lama hilang, saat wawancara pada Minggu, 4 Mei 2025.
Benjolan itu kini membuatnya kesulitan menelan makanan dan berbicara. Namun, pengobatan medis tak pernah ia rasakan karena terbentur masalah biaya.
“Hidup kami pas-pasan. Makan saja kadang susah, apalagi mau ke rumah sakit,” ucapnya lirih sambil menyeka air mata yang perlahan jatuh ke pipinya.
Selama bertahun-tahun, Regina hanya mengandalkan ramuan tradisional dan doa-doa yang ia bisikkan dengan penuh harap.
Daun-daunan dari kebun, rebusan akar, dan kunjungan ke dukun kampung menjadi satu-satunya jalan yang bisa ia tempuh.
“Kadang ada sedikit perubahan, tapi cuma sebentar. Habis itu membesar lagi,” katanya.
Suaminya yang kini telah renta tak lagi mampu bekerja seperti dulu. Tenaga yang dulu ia andalkan kini melemah bersama waktu dan penyakit.
Anak-anak mereka pun hidup dalam keterbatasan, bekerja serabutan, kadang ada penghasilan, kadang tidak.
“Mereka mau bantu, tapi apa daya? Mereka juga masih harus bertahan hidup,” tutur Regina pelan.
Pernah terlintas dalam benaknya untuk menyerah. Tapi kemudian ia ingat cucu-cucunya.
Ia ingin tetap hidup, ingin melihat mereka tumbuh besar, meski tubuhnya kian digerogoti rasa sakit.
“Kadang saya pikir lebih baik mati daripada menyusahkan orang. Tapi saya juga ingin lihat cucu-cucu saya besar,” ujarnya sambil menggenggam sudut tikar.
Di tengah penderitaannya yang panjang, Regina hanya punya satu harapan: ada hati-hati baik yang tergerak menolong. Ia ingin sembuh. Ia ingin kembali menjalani hidup tanpa rasa sakit yang membelenggu.
“Kalau ada yang mau bantu, saya akan sangat bersyukur. Saya cuma ingin sembuh, bisa makan dan tidur seperti orang lain,” katanya dengan suara hampir tak terdengar, seperti sisa doa yang terbang ke langit rumahnya yang sederhana.
Reporter: Eventus