Borong,lenteranews.info -
SMA Negeri 1 Poco Ranaka menuai sorotan publik setelah menerapkan sanksi tak lazim bagi siswa yang tidak hadir tanpa keterangan. Mereka yang tercatat alpa diwajibkan membawa 20 biji batako ke sekolah.
“Kalau alpa satu hari, harus bawa batako 20 biji. Sudah seperti kewajiban proyek bangunan, bukan lagi aturan sekolah,” ujar seorang siswa yang identitasnya dirahasiakan, Kamis (24/4).
Ia menilai kebijakan tersebut bukan lagi soal pembinaan kedisiplinan, melainkan upaya memenuhi kebutuhan material sekolah.
“Dulu kalau tidak masuk, tinggal kasih surat dan orang tua dipanggil. Sekarang malah disuruh bawa batako,” katanya.
Menurutnya, aturan ini diberlakukan secara mendadak, tanpa sosialisasi terlebih dahulu kepada siswa maupun orang tua.
“Tidak pernah diumumkan di depan kelas atau saat rapat orang tua. Tahu-tahu teman-teman yang alpa disuruh bawa batako,” jelasnya.
Siswa lain menyampaikan pengalaman serupa.
“Saya pernah sakit dan tidak masuk sekolah, tapi tetap dicatat alpa dan disuruh bawa batako. Tidak ada ruang untuk penjelasan atau dispensasi,” tuturnya.
Sanksi ini dinilai membebani siswa, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil.
“Kami tinggal jauh. Harus beli batako sendiri, angkut pakai ojek, kadang dipikul sendiri. Itu sangat berat,” ungkapnya.
“Kalau orang tua tidak punya uang, bagaimana? Harga satu batako bisa Rp5.000. Kali 20 itu seratus ribu. Bagi kami, itu beban besar,” tambahnya.
Kepala Sekolah SMAN 1 Poco Ranaka, Ferdinandus Fifardin, membenarkan kebijakan tersebut saat dikonfirmasi melalui pesan singkat.
“Satu kali alpa, 20 batako. Kalau tidak mau kena sanksi, jangan alpa,” jawabnya.
Ia menjelaskan bahwa batako yang dibawa siswa digunakan untuk memperbaiki pagar sekolah.
“Kami butuh dukungan dari siswa untuk pembangunan kecil di sekolah,” jelasnya.
Namun, ketika ditanya apakah kebijakan ini memiliki dasar hukum atau sudah mendapat persetujuan dari Dinas Pendidikan, Ferdinandus tidak memberikan jawaban yang jelas.
“Ini bagian dari upaya membina kedisiplinan siswa,” singkatnya.
Sejumlah siswa mengaku tertekan dengan kebijakan ini namun enggan menyampaikan protes secara terbuka.
“Kami takut dipanggil atau dimarahi guru kalau protes. Jadi lebih baik diam saja,” ujar seorang siswa.
Mereka juga mempertanyakan relevansi antara pelanggaran absensi dan kewajiban membawa material bangunan.
“Kami datang ke sekolah untuk belajar, bukan untuk bawa batako,” tegas mereka.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari Dinas Pendidikan Provinsi Nusa Tenggara Timur maupun Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur. Tidak ada kejelasan apakah kebijakan ini akan dievaluasi atau tetap diberlakukan.
“Kami hanya ingin aturan yang mendidik, bukan menakut-nakuti. Sekolah seharusnya jadi tempat belajar, bukan tempat angkut batako,” pungkas salah satu siswa penuh harap.
Reporter: Eventus